INOVASI SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI INFORMASI MODERN
INOVASI SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI INFORMASI
MODERN
Disusun Oleh:
1. Aditya Putra Jana Kusuma 10115197
2. Danang Antok Prabowo 11115562
3. Fajar Syairillah 12115443
4. Hilmy Verian 13115167
5. Mochammad Qori Hakim 14115236
2KA13
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016/2017
TINJAUAN
TEORITIS
PEMBANGUNAN
WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN
DALAM
PERSPEKTIF NEGARA KEPULAUAN REPUBLIK INDONESIA
ABSTRAK
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia telah diakui dunia secara internasional (UNCLOS
1982) yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17
Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia seluas
5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7 km2
perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas tersebut belum termasuk landas kontinen.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Namun
demikian, pembangunan bidang kelautan dan perikanan hingga saat ini masih jauh dari
harapan. Padahal wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan lautan kepulauan
Indonesia disimpan potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang sangat
besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.
PENDAHULUAN
Secara geografis
Indonesia mem-bentang dari 60 LU sampai 110 LS dan 920 sampai 1420 BT, terdiri
dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau. Tiga
per-empat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan panjang garis pantai
95.161 km, terpanjang kedua setelah Kanada.
Melalui Deklarasi
Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyata-kan kepada dunia bahwa laut
Indonesia (laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia) menjadi
satu kesatuan wilayah NKRI. Dan Indonesia sebagai negara kepulauan, telah
diakui dunia internasional melalui konvensi hukum laut PBB ke tiga, United
Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian
diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasar-kan
UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km2, terdiri
atas 3,2 juta km2 perairan terito-rial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi
Eksklusif, luas perairan ini belum termasuk landas kontinen (continental
shelf). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia (the biggest Archipelago in the World).
Pasal 25A UUD 1945
(hasil amandemen kedua UUD 1945), menyebutkan bahwa “NKRI adalah negara
kepulauan yang berciri nusan-tara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya ditetapkan dengan Undang-undang”. Ini semakin mengu-kuhkan
eksistensi Indonesia sebagai negara maritim. Apalagi dengan lahir-nya UU N0.27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, lebih
jelas mengakui eksistensi sektor kelautan dan peri-kanan serta pengelolaan
wilayah pesi-sir dan pulau-pulau kecil sebagai salah satu agenda pembangunan
nasional. Namun faktanya, pembangunan bidang kelautan dan perikanan hingga saat
belum dimanfaatkan secara optimal, padahal tersimpan potensi SDA dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat besar. Sehingga untuk menjadikan sektor kelautan dan
perikanan sebagai arus utama pembangunan nasional dibutuhkan kebijakan
pembangunan yang terpadu dan berbasiskan ekosistem.
PEMBAHASAN
Potensi dan keunggulan
sumber-daya pesisir dan lautan Indonesia
Potensi wilayah
Posisi geografis
kepulauan Indonesia sangat strategis karena merupakan pusat lalu lintas maritim
antar benua. Indonesia juga memiliki kedaulatan terhadap laut wilayahnya
meliputi; perairan pedalaman, perairan nusantara, dan laut teritorial
(sepanjang 12 mil dari garis dasar). Disamping itu ada juga zona tambahan
Indonesia, yang memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu. Selain itu,
ada juga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sejauh 200 mil dari garis
pangkal, dimana Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam
(perikanan), kewenangan untuk meme-lihara lingkungan laut, mengatur dan
mengizinkan penelitian ilmiah kelautan, pemberian ijin pembangunan pulau-pulau
buatan, instalasi dan bangunan2 lainnya.
Potensi sumberdaya hayati
Indonesia sebagai negara
tropis, kaya akan sumberdaya hayati, yang dinyatakan dengan tingkat
keaneka-ragaman hayati yang tinggi. Dari 7000 spesies ikan di dunia, 2000 jenis
diantaranya terdapat di Indonesia. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut
Indonesia kurang lebih 6,4 juta ton per tahun, terdiri dari : ikan pelagis
besar (1,16 juta ton), pelagis kecil (3,6 juta ton), demersal (1,36 juta ton),
udang penaeid (0,094 juta ton), lobster (0,004 juta ton) , cumi-cumi (0,028 juta
ton), dan ikan-ikan karang konsumsi (0,14 juta ton). Dari potensi tersebut
jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) sebanyak 5,12 juta ton per
tahun, atau sekitar 80% dari potensi lestari. Potensi sumberdaya ikan ini
tersebar di 9 (sembilan) wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.
Potensi
budidaya laut, terdiri dari potensi budidaya ikan (kakap, kerapu, gobia);
udang, moluska (kerang-kerangan, mutiara, teripang); dan rumput laut, potensi
luasan budidaya-nya sebesar 2 juta ha (20% dari total potensi lahan perairan
pesisir dan laut berjarak 5 km dari garis pantai) dengan volume 46,73 juta ton
per tahun. Sedangkan potensi budidaya payau (tambak) mencapai 913.000 ha. Untuk
potensi bioteknologi kelautan masih besar peluangnya untuk dikembang-kan,
seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, dan
benih ikan dan udang.
Perairan
Indo-Pasifik, yang seba-gian besar terletak di perairan Indone-sia merupakan
pusat keanekaragaman terumbu karang dunia, dengan lebih dari 400 spesies. Juga
berbagai jenis ganggang laut tersebar di berbagai wilayah pantai. Sumberdaya
hayati laut kita, selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi juga
mempunyai luas habitat yang besar, yaitu : 2,4 juta ha kawasan hutan bakau dan
8,5 juta ha terumbu karang. Secara biologi, kawa-san pesisir dan laut Indonesia
juga mempunyai nilai global, karena pera-iran Indonesia merupakan tempat
ber-telur ikan-ikan yang bermigrasi (highly migratory species) seperti
tuna, lumba-lumba dan berbagai jenis ikan paus serta penyu.
Potensi
kelautan dan perikanan di atas, guna mendorong pertumbuhan ekonomi diperkirakan
mempunyai nilai potensi ekonomi masing-masing : perikanan tangkap US$ 15,1
miliar per tahun; budidaya laut US$ 46,7 miliar per tahun; budidaya tambak US$
10 miliar per tahun dan bioteknologi kelautan sebesar US$ 4 miliar per tahun.
Potensi
sumberdaya mineral dan energi
Sekitar
70 % produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan
laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di
lepas pantai, 14 di kawasan pesisir, hanya 6 yang di daratan. Dari seluruh
cekungan tersebut, potensinya diperkirakan sebe-sar 11,3 miliar barel minyak
bumi. Cadangan gas bumi di kawasan ini diperkirakan sebesar 101,7 triliun
kubik. Selain itu kawasan ini juga kaya akan berbagai jenis bahan tambang dan
mineral seperti : emas, perak, timah, bijih besi, dan mineral berat. Di
perairan pesisir dan laut Indonesia, juga ditemu-kan jenis energi baru
pengganti BBM, berupa gas hidrat dan gas bionik di lepas pantai barat Sumatera,
selatan Jawa Barat serta bagian utara Selat Makassar dengan potensi yang sangat
besar, melebihi seluruh potensi minyak dan gas bumi Indonesia (Richardson, 2008
dalam Dahuri 2010).
Selain
sumber energi diatas, terdapat juga sumber-sumber energi non konvensional
seperti : energi pasang surut, energi gelombang, OTEC (ocean thermal energy
conversion), tenaga surya dan angin. Potensi sumberdaya mineral lainnya
yang dapat dikembangkan adalah air laut da-lam (deep ocean water). Air
laut dalam merupakan air di kedalaman 200 m, memiliki karakteristik yang
berguna untuk kepentingan perikanan, kosme-tika dan air mineral.
Potensi industri
dan jasa maritim
Sehubungan
dengan Indonesia adalah negara kepulauan dengan wila-yah pesisir dan lautan
yang luas, maka industri dan jasa maritim yang potensi untuk dikembangkan
adalah : a) Galangan (pembuatan) kapal dan dock-yard; b) Industri mesin dan
peralatan kapal; c) Industri alat penangkapan ikan (fishing gears)
seperti jaring, pancing, fish finders, tali tambang, dll; d) Industri kincir
air tambak (pedal wheel), pompa air, dll; e) Offshore engineering and
structures; f) Coastal engineering and structures; g) Kabel bawah laut dan
fiber optics; h) Remote sensing, GPS, GIS, dan ICT lainnya.
Potensi transportasi laut dan
jasa lingkungan
Seiring dengan
pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia-Pasifik, dewasa ini,
70% perda-gangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75% produk
dan komoditas perdagangan di transporta-sikan melalui laut Indonesia dengan
nilai sekitar US$ 1.300 triliun per tahun.
Sejak 1987, Indonesia
menghamburkan devisa rata-rata US$ 14 miliar/tahun untuk membayar armada
pelayaran asing. Sekitar 97% dari total barang dan komoditas yang diekspor dan
diimpor oleh Indonesia, diangkut oleh kapal-kapal asing dan sekitar 55% dari
total barang dan komoditas yang ditransportasikan antar pulau di perairan laut
Indonesia, diangkut juga oleh kapal-kapal asing.
Dengan potensi total
muatan nasional 502 juta ton per tahun (200 juta ton batubara; 55 juta ton
crude oil; 60 juta ton CPO; 7 juta ton produk perikanan; 8 juta ton LNG; 2 juta
ton LPG; 120 juta ton containers dan 50 juta ton general cargo), melalui
pendekatan cluster maritime kita bisa meraup devisa perhubungan laut US$
15 miliar setiap tahun-nya (IMPC, 2008 dalam Dahuri 2009). Untuk dapat
melayani kebutuhan angkutan muatan sebesar itu, diperlukan sekitar 650 kapal
tambahan, dengan total investasi sebesar US$ 5 miliar. Selain mening-katkan
pendapatan negara, cluster maritime juga menciptakan lapangan kerja baru
sedikitnya 1 juta orang, membangkitkan sejumlah multiplier effects,
mendongkrak daya saing ekonomi nasional, juga dapat memper-cepat pembentukan 24
pelabuhan hub port. Dari 114 pelabuhan umum yang kita miliki, tidak
satupun memenuhi standar pelayanan internasional.
Tahun 2000, Jepang
dengan panjang garis pantai 34.000 km memiliki 3000 pelabuhan perikanan,
artinya setiap 11 km garis pantai terdapat 1 (satu) pelabuhan perikanan.
Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km memiliki 52 pelabuhan perikanan,
artinya setiap 50 km garis pantai mempunyai 1 (satu) buah pelabuhan perikanan.
Sementara, Indonesia dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km, hanya
memiliki 17 pelabuhan perikanan, artinya setiap 4.500 km garis pantai hanya
memiliki 1 (satu) buah pelabuhan perikanan.
Negara bagian
Queensland, Australia dengan panjang garis pantai 2.100 km, tahun 2007
pariwisata baharinya meraup devisa sebesar US$ 3 milyar. Indonesia dengan
panjang garis pantai 95.200 km dan 6 terumbu karang (Raja Ampat, Wakatobi,
Tukang Besi, Bunaken, Gili IMT, dan P. Rubiah) dari 10 terumbu karang terindah
di dunia, total devisa pariwisata nya hanya US$ 5 milyar ( WTO 2008 dalam Dahuri
2010).
Posisi Indonesia yang
strategis, dengan memiliki estetika lingkungan yang sulit ditandingi oleh
negara kepulauan lain, seperti gugusan pulau yang indah dan kekayaan
keaneka-ragaman sumberdayahayati lautnya, menjanjikan potensi ekonomi dari
kegi-atan pariwisata alam dan pariwisata bahari dengan segala variannya.
Prospek ini tentu didukung oleh bergesernya kebutuhan masyarakat global akan
kehidupan back to nature, dimana mereka telah jenuh dengan kehidupan
dalam lingkungan buatan. Estimasi nilai potensi ekonomi pari-wisata bahari di
Indonesia sebesar US$ 54.3 miliar per tahun (PKSPL IPB 2009 dalam Dahuri
2010)
Potensi kultural
Salah satu potensi
kelautan Indonesia adalah benda peninggalan budaya masa lalu yang memiliki
nilai ekonomis tinggi yaitu, Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). Saat ini
diperkirakan terdapat 463 titik lokasi kapal tenggelam, yang terjadi sejak abad
14 sampai abad 19. Pemerintah telah membentuk Panitia Nasional BMKT melalui
Keppres No.107 Tahun 2000, agar pemanfaatan BMKT dapat memberikan manfaat
kepada masya-rakat dan negara, serta mencegah pengangkatan BMKT secara illegal.
Nilai BMKT secara keseluruhan diper-kirakan mencapai US$ 40 juta.
Dari potensi
sumberdaya pesisir dan lautan di atas, sedikitnya terkait dengan 11 sektor
ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan yaitu : 1) perikanan tangkap, 2)
perikanan budidaya, 3) industri pengolahan hasil perikanan, 4) industri
bioteknologi kelautan, 5) pertambangan dan energi, 6) pariwisata bahari, 7)
perhubungan laut, 8) industri dan jasa maritim, 9) sumberdaya pulau-pulau
kecil, 10) coastal forestry (mangrove), dan 11) SDA non konvensional.
Sektor ekonomi
kelautan adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan
lautan, dan/atau yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk
mengha-silkan goods and services yang dibu-tuhkan umat manusia (Kildow,
2005 dalam Dahuri 2010). Menurut PKSPL-IPB 2009, total potensi ekonomi
kelautan Indonesia : sebesar US$ 1.200 miliar/tahun
Isu-isu
pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia
Potensi sumberdaya
pesisir dan laut Indonesia yang besar ternyata belum memberikan kontribusi yang
signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Pemanfaatannya belum opti-mal,
malahan telah terjadi degradasi sumberdaya alam di beberapa perairan pesisir akibat
pemanfaatan yang tidak mempertimbangkan daya dukung ling-kungan.
Adapun isu-isu utama
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia antara lain :
Kemiskinan masyarakat pesisir
Wilayah pesisir
merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, sayangnya sebagian
besar masyarakat pesisir termasuk masya-rakat miskin. Tahun 2008, keberadaan
masyarakat pesisir di Indonesia, terse-bar di 10.639 desa pesisir, dimana
masyarakat miskin-nya berjumlah kurang lebih 10 juta jiwa, terdiri dari 7,8
juta penduduk miskin dan 2,2 juta penduduk sangat miskin. Tahun 2011,
masyarakat miskinnya bertambah menjadi 14,7 juta penduduk. Kemis-kinan dan
ketergantungan terhadap sumberdaya pesisir dan laut, seringkali mengakibatkan
masyarakat melakukan kegiatan yang menurunkan kualitas sumberdaya, seperti :
penebangan mangrove (untuk kayu bakar dan dijual), penangkapan ikan dengan
merusak ekosistem.
Konflik pemanfaatan ruang
Berbagai kegiatan dan
kepen-tingan dilaksanakan di wilayah pesisir, bahkan terkadang
kegiatan-kegiatan tersebut saling bertentangan. Konflik pemanfaatan ruang
terjadi, karena belum ada aturan yang jelas tentang penataan ruang wilayah
pesisir yang dapat dijadikan acuan dari berbagai sektor yang berkepentingan.
Penurunan kualitas lingkungan
Kerusakan fisik pada
ekosistem pesisir umumnya terjadi pada ekosis-tem mangrove, terumbu karang dan
padang lamun. Terumbu karang dalam kondisi baik tidak lebih dari 30%, sedangkan
degradasi ekosistem mangrove hampir merata terjadi diseluruh kawasan pesisir
Indonesia. Beberapa kegiatan yang diduga menyebabkan erosi pantai antara lain :
pengambilan pasir untuk reklamasi, pembangunan pelabuhan/jetty/marina,
pembangunan hotel. Hal ini terjadi karena perencanaan dan pengembangan wilayah
pesisir yang tidak tepat.
Pencemaran yang terjadi di wilayah pesisir dan
lautan, berasal dari aktivitas di darat seperti : industri, kegiatan rumah
tangga dan pertanian. Selain itu ada juga sumber pence-maran yang berasal dari
aktivitas di laut seperti : kegiatan transportasi laut, termasuk transportasi
kapal pengang-kut minyak (oil tanker), dan kegiatan pertambangan.
Hal-hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan
perairan serta estetika pantai.
Pengelolaan pulau-pulau kecil dan
pulau-pulau kecil di perbatasan
Mengingat
karakteristiknya yang unik maka pengelolaan pulau-pulau kecil membutuhkan
pendekatan tersen-diri dan berbeda dengan pulau besar. Di masa lalu, perhatian
untuk mem-bangun pulau-pulau kecil sangat minim bahkan hampir tidak tersentuh oleh
kegiatan pembangunan. Untuk itu dalam membangun pulau-pulau kecil disamping
pengembangan untuk investasi, juga perlu diupayakan pro-gram pemberdayaan
masyarakat yang ada di sana, seperti fasilitasi dan peningkatan sarana
pendidikan, kese-hatan, pengadaan listrik (tenaga surya), pengadaan alat
desaltinasi, alternative livehood, bantuan sarana informasi dan
telekomunikasi. Berdasarkan Perpres RI No.78 tahun 2005 tentang Penge-lolaan
Pulau-pulau Kecil Terluar, di daerah perbatasan NKRI terdapat 92 pulau-pulau
kecil terluar yang perlu di kelola. Tujuan dari Perpres ini adalah untuk
menjaga keutuhan NKRI, keamananan nasional, pertahanan negara, menciptakan
stabilitas kawa-san, pemanfaatan SDA secara berke-lanjutan dan pemberdayaan
masya-rakat pulau-pulau kecil
Pengelolaan sumberdaya perikanan
yang tidak berkelanjutan
Dari berbagai data
yang dimiliki, kegiatan illegal fishing yang sering terjadi di perairan
Indonesia, dian-taranya : a) penangkapan tanpa izin, b) penangkapan dengan izin
palsu, c) penangkapan yang tidak dilaporkan di pelabuhan pendaratan, d)
penang-kapan dengan alat tangkap terlarang, e) penangkapan di area yang tidak
sesuai izin, dan f) penangkapan dengan jenis alat tangkap yang tidak sesuai
izin.
Perubahan iklim global
Berdasarkan data Inter
Gover-mental Panel on Climate Change (IPCC), akibat pemanasan global, kenaikan
suhu tahunan di Indonesia dari tahun 1970-2004 antara 0,2–10oC. Sedangkan
dampak pemanasan global terhadap wilayah pesisir, adalah : a) wilayah pesisir
semakin rentan terhadap erosi pantai maupun naiknya permukaan air laut, dan hal
ini diperparah akibat perbuatan manusia, b) diperkirakan tahun 2080, jutaan
orang akan terkena banjir setiap tahun-nya, akibat naiknya permukaan laut,
terutama dataran rendah yang padat penduduk terutama di delta-delta besar benua
Asia dan penduduk di pulau-pulau kecil, c) adaptasi untuk daerah pesisir lebih
sulit dilakukan di negara berkembang karena terbatasnya kapa-sitas adaptasi
mereka
Paradigma baru
pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia
Dalam skala nasional,
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan diharapkan dapat dikelola secara
berkelanjutan serta mampu mensejahterakan masyarakat setem-pat. Di tingkat
global, isu-isu perubahan iklim global (climate change), penge-lolaan
berbasis ecoregion (misalnya : coral triangle), dan konservasi
lingku-ngan mendapat perhatian yang sangat penting. Tuntutan-tuntutan ini
dianggap sebagai perhatian dan keprihatinan terhadap degradasi daya pulih
lingku-ngan dan sumberdaya hayati. Tuntutan ini tertuang dalam berbagai
konvensi internasional menyangkut pengelolaan wilayah pesisir terpadu,
pengentasan kemiskinan, dan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab,
seperti Agenda-21, World Summit on Sustainable Development (WSSD), Millenium
Development Goals (MDGs) dan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
Dengan telah
mengantisipasi beberapa kondisi lingkungan strategis sesuai dinamika
perkembangan di tingkat global dan nasional, maka pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan Indonesia ke depan, diharapkan
dilakukan secara terpadu sesuai dengan daya dukung lingkungan serta untuk
memberdayakan masya-rakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kebijakan
pembangunan kelautan dan perikanan
Dalam
upaya pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan, selain memberikan
penya-daran tentang pentingnya manfaat dari sumberdaya kelautan dan perikanan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga perlu ditanamkan tentang
falsafah dalam mengelola sumberdaya tersebut, harus dengan pendekatan ekonomi,
ekologi dan sosial, sehingga tercapai keseim-bangan antara eksploitasi dan
konservasi.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI, telah menyusun rencana strategis pembangunan sektor
kelautan dan perikanan dengan visi : “Penge-lolaan sumberdaya kelautan dan
peri-kanan yang lestari dan bertanggung jawab bagi kesatuan serta
kesejah-teraan anak bangsa”. Sedangkan misi kementerian ini adalah :
-
meningkatkan kesejahteraan masya-rakat nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat
pesisir lainnya; meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi
-
Memelihara daya dukung dan meningkatkan kualitas lingkungan perairan tawar,
pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan (sumberdaya kelautan dan perikanan)
-
Meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui pening-katan konsumsi ikan
- Meningkatkan peran laut sebagai
pemersatu bangsa dan memperkuat budaya bahari
Untuk
mewujudkan visi dan misi ini, maka pembangunan bidang kelaut-an dan perikanan
bertumpu pada tiga pilar pembangunan nasional yaitu : pro growth strategy;
pro job strategy dan pro poor strategy, yang diarahkan pada:
-
Penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan antar daerah
-
Peningkatan kesempatan kerja, inves-tasi dan ekspor
-
Penegakan hukum dan penang-gulangan illegal fishing
-
Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan/kesehatan bagi masyara-kat
pesisir
- Rehabilitasi daerah-daerah yang
terkena bencana alam (mis : Aceh, Nias, dll)
Penguatan
kelembagaan (UU penge-lolaan pesisir dan pulau-pulau kecil)
Implementasi
berbagai kebijakan dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil selama
ini mengalami kendala karena tidak adanya payung hukum, untuk dijadikan
landasan kebijakannya. Untuk menjawab perma-salahan ini, lahirlah UU No.27
Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU ini
mempunyai arti penting dan strategis bagi pembangunan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil di Indonesia. Dan juga menjadi momentum penting dan strategis
sebagai pengakuan negara akan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Adapun implikasi dari lahirnya UU. No.27 Tahun 2007 ini
adalah :
-
Perubahan paradigma pembangunan dari berbasis sumberdaya daratan ke sumberdaya
kelautan
-
Perubahan kebijakan pengalokasian anggaran pembangunan dengan memperhatikan
parameter luas wilay-ah perairan laut
-
Perubahan pendekatan pemba-ngunan sesuai dengan karakteristik bio-geofisik
wilayah P3K
-
Obligasi bagi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk memi-tigasi bencana
di wilayah P3K
- Membuat sepadan pantai, dan
mengkonversi wilayah pesisir untuk : perlindungan wilayah pesisir, peles-tarian
biodiversity, perlindungan ma-nusia dari bencana, pelestarian nilai-nilai
sosial budaya pesisir
- Ada kebutuhan capacity building di bidang
pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated coastal mana-gement)
Mitigasi dan adaptasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil
Wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang paling rentan terhadap dampak
perubahan iklim, seperti terjadinya kenaikan paras muka laut (sea level rise)
yang akan menenggelamkan pulau-pulau kecil yang berelevasi rendah. Hilangnya
pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan NKRI, dapat mengancam kedaulatan
wilayah NKRI. Selain itu, perubahan suhu dan sifat fisik kimia air laut akan
berdampak negatif terhadap biodi-versity dan pola migrasi spesies-spesies
penting.
Untuk itu, upaya
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global telah menjadi suatu
keharusan. Perencanaan pembangunan di wilayah P3K harus mempertimbangkan aspek
resiko dan mitigasi bencana yang mungkin dihadapi baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Selain itu, upaya-upaya peningkatan daya tahan
(resilient) masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim global tersebut juga
perlu terus dilakukan.
Pemberdayaan masyarakat pesisir
Masyarakat pesisir
adalah orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan ekonominya
bergan-tung secara langsung pada peman-faatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka
terdiri dari : nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan/ organisme laut
lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi
perikanan. Di bidang non perikanan, terdiri dari : penjual jasa pariwisata
bahari/pesisir, penjual jasa transportasi laut, kelompok masyarakat yang
memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk kehidupannya.
Sebagian besar
penduduk yang tinggal di wilayah pesisir merupakan masyarakat miskin. Kondisi
ini dise-babkan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, terbatasnya akses
ter-hadap permodalan, teknologi, informasi dan pasar, serta keterbatasan
masya-rakat dalam keterlibatan untuk peng-ambilan keputusan alokasi sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil. Kondisi ini kalau dibiarkan, berpotensi untuk
meningkatkan eksploitasi sumberdaya kelautan dan perikanan yang tidak ramah
lingkungan. Untuk itulah dibutuhkan program pemberdayaan bagi masyarakat
pesisir, dengan tujuan sebagai berikut :
- Tersedia dan
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu : sandang, pangan, papan, kesehatan
dan pendidikan
- Tersedia sarana dan
prasarana produksi secara lokal, sehingga masyarakat dapat memperolehnya dengan
harga yang murah dan berkualitas
- Meningkatnya peran
kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif
- Terciptanya kegiatan ekonomi produktif di daerah
yang berbasis sumberdaya lokal (resources based) dan dilakukan secara
berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental based).
Kerjasama regional dan
internasional
Mengingat perubahan
iklim merupakan permasalahan global dan dampaknya bersifat lintas batas negara,
maka kerjasama antar negara perlu dikembangkan. Khusus untuk wilayah pesisir,
hal ini sangat penting mengingat pengelolaan sumberdaya pesisir bersifat
bio-ekoregion, daripada administratif.
Beberapa kerjasama
regional maupun internasional yang berhubungan dengan hal di atas antara lain :
World Ocean Conference (WOC) 2009
Adalah konferensi kelautan dunia, yang dilaksanakan
di kota Manado, Sulawesi Utara, Mei 2009. Secara umum konferensi ini bertujuan
untuk mendapatkan komitmen politik dari pemerintah
negara-negara yang hadir, dan secara khusus bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman tentang : (a) perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan
sosial dan ekonomi masyarakat pesisir, kondisi lingkungan laut serta wilayah
pesisir, (b) peran laut dalam fenomena perubahan iklim global, (c)
langkah-langkah adaptasi dan mitigasi untuk menghadapi perubahan iklim global.
Hasil dari WOC 2009
ini adalah dideklarasikan Manado Ocean Decla-ration, yang berisi : (i) Dampak
perubahan iklim terhadap laut; (ii) Peran laut dalam mengelola iklim global;
(iii) Adaptasi dan mitigasi; (iv) Peluang kerjasama regional dan internasional.
CTI (Coral Triangle Initiative)
Coral Triangle
Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Securities, merupakan forum
koordinasi dalam pengelolaan perikanan yang penting dan modern, mencakup
seba-gian wilayah zone ekonomi eksklusif 6 (enam) negara yaitu : Indonesia
(bagian tengah dan timur), Timor Leste, Filipina, Malaysia (Sabah), Papua New
Guinea, dan kepulauan Solomon. Inisiatif ini sekaligus menggalang upaya
penguatan human system dalam pengelolaan terumbu karang dan natural system
dalam menjaga keles-tarian ekosistem terumbu karang dan mengantisipasi
perubahan iklim global.
Kerjasama CTI
merupakan pen-dekatan baru dalam pengelolaan sumberdaya yang berbasis
bio-ekoregion. Pendekatan pengelolaan ini dilakukan secara bersama pada
kawa-san penting dan signifikan dalam satu kesatuan dan keterkaitan ekosistem
(bio-ekoregion) dalam batas-batas tertentu, dan tidak terlalu kaku dalam
batas-batas wilayah administrasi negara.
Kawasan CTI, meliputi
luasan sebesar 75.000 km2, memiliki 500 spesies terumbu karang, 3000 spesies
ikan, sebaran hutan bakau tersebar di dunia, sebagai tempat pemijahan dan
pengembang-biakan ikan tuna, yang menyediakan bahan baku bagi industri
perikanan tuna dunia. Kawasan ini juga merupakan sumber penghidupan bagi 120
juta penduduk, dengan perputaran ekonomi sebesar $ 2,3 milyar per tahun.
KESIMPULAN
Secara geografis
Indonesia terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih
17.504 pulau. Tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan
panjang garis pantai 95.161 km, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Hal
ini men-jadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (the
biggest Archipelago in the World). Namun faktanya, pembangunan bidang
kelautan dan perikanan selama ini masih jauh dari harapan.
Pengelolaan sumberdaya
kelaut-an dan perikanan membutuhkan kebi-jakan yang komprehensif, terintegrasi
dan tepat sasaran, mengingat kawasan ini memiliki permasalahan, potensi dan
karakteristik yang khas. Dengan lahir-nya UU No.27 Tahun 2007, telah mem-berikan
makna strategis sekaligus tantangan bagi implementasi penge-lolaan sumberdaya
kelautan dan peri-kanan di Indonesia.
Hal yang paling
penting untuk menjadikan kelautan dan perikanan sebagai sektor andalan
pembangunan adalah perlunya perubahan paradigma pembangunan. Dimana pendekatan
pembangunan selama ini yang lebih berorientasi darat, harus dirobah men-jadi
berorientasi ke-laut, dengan lebih memperhatikan dan mengoptimalkan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan.
Selain itu, dengan adanya desen-tralisasi dalam
pengelolaan sumber-daya pesisir dan laut ke daerah (kabupaten/kota dan
provinsi), maka upaya peningkatan kualitas SDM di daerah perlu dilakukan
sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan kelautan dan perikanan nasional.
Dengan adanya capacity building dan kemitraan dengan berbagai
pihak maka imple-mentasi konsep pengelolaan wilayah laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil yang terpadu akan terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri R. 2010. Positioning
Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Kelautan Nasional. Bahan Kuliah Umum di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT Manado. 206 p
Dahuri R, J. Rais, S. P. Ginting,
M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sum-berdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
PT. Pradnya Paratima. Jakarta
Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir dan Pulau-pulau kecil-DKP. 2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah
Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta
Kusumastanto T. Makalah. Ocean
Policy dalam Membangun Negara Bahari. PKSPL IPB
Numberi F. 2009. Evolusi
Pem-bangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Evolusi Kelautan Nusantara. Bogor. 32 p
Peraturan Presiden RI No.78 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
Sujoko A. 2011. Akankah nelayan
bebas dari kemiskinan. http:// opiniperikanan.wordpress.com. di akses tanggal 3
Juni 2012.
United Nations, United Nations
Convention on The Law of The Sea, 10. December 1982.
Undang-Undang RI No.17 Tahun 1985
tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea.
Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kec
Komentar
Posting Komentar